WE MUST KNOW..
Bintan
adalah pulau terbesar di Kepulauan Riau, yang terdiri dari hampir 3.000 pulau
besar dan kecil, terbentang di sebrang Singapura dan Johor Baru, Malaysia.
Pulau ini melebar dari Malaka ke Laut Cina Selatan. Tanjung Pinang merupakan
ibu kota provinsi ini, terletak di pantai barat selatan Bintan. Secara
strategis terletak di semenanjung selatan Malaysia di mulut Selat Malaka,
kepulauan Riau, dahulu pada abad pertama masehi, merupakan tempat favorit bagi
kapal dagang India dan Cina.
Tujuan
wisata teratas di sini adalah Bintan Resor, destinasi wisata berupa pantai yang
spektakuler di utara pulau, dengan luas 23,000 hektar diatas pasir putih yang
menghadap ke Laut Cina Selatan. Pulau ini juga memiliki riwayat yang menarik di
Tanjung Pinang dan Penyengat, yang menawarkan kesempatan untuk surfing, bertualang dan
ekowisata untuk pelajar dan keluarga, tapi juga ideal untuk bersantai dan
kesehatan.
Sementara,
bagi mereka yang suka menyelam kepulauan Anambas di Laut Cina Selatan
menawarkan lokasi menyelam yang masih alami, dapat dijangkau dari bandara
Tanjung Pinang. Sedangkan, kepulauan Natuna dapat dijangkau dari Batam.
Tidak
heran lagi, pada abad ke-18, pedagang dari Eropa, Portugis, Belanda dan Inggris
saling bertarung memperebutkan pulau ini. Pada waktu itu, pulau ini bagian dari
Semenanjung Melayu dikuasai oleh Kesultanan Johor-Riau, yang diduduki
secara berganti antara Johor – berada di Malaysia saat ini - dan pulau
Bintan, berada di Indonesia saat ini.
Pada
1884 Inggris dan Belanda menutup pertentangan mereka di pulau ini dengan
menandatangani Treaty of
London, yang kemudian semua wilayah teritoris utara Singapura
diberikan pada Inggris, sementara wilayah teritoris selatan Singapura
diserahkan pada Belanda.
Sejak
saat itu takdir dan sejarah wilayah utara dan selatan Singapura
dipisahkan. Singapura menjadi pusat perkembangan dagang Inggris, sedangkan
Belanda berkonsentrasi di Jakarta dan Jawa, meninggalkan kepulauan Bintan.
Dalam
beberapa dekade, dengan hubungan bersahabat antara Indonesia dan Singapura,
sebuah persetujuan ditanda tangani antara kedua belah pihak untuk membangun
kepulauan Bintan secara bersama-sama yang akan menguntungkan kedua negara dalam
Zona Perdagangan Bebas Batam, Bintan dan kepulauan Batam.
Bentuk
pertama dari perjanjian ini adalah pembangunan Bintan Resor, destinasi wisata
pantai, seluas 23,000 hektar diatas pasir putih Bintan nan indah yang menghadap
Laut Cina Selatan.
LEGENDA PULAU BINTAN
Alkisah, pada
zaman dahulu kala, di Pulau Bintan berdiam sekumpulan orang Sampan atau orang
Suku Laut. Mereka dipimpin oleh seorang Batin yang gagah perkasa. Batin Lagoi namanya.
Untuk masuk ke kawasan Batin Lagoi itu, harus melalui sebuah betung yang ditumbuhi
semak belukar yang rimbun.
Pada suatu
hari, Batin Lagoi menyusuri pantai. Tengah berjalan santai, tiba-tiba ia
dikejutkan dengan suara tangisan bayi dari arah semak-semak pandan. Dengan
perasaan takut, ia menerobos semak pandan itu dengan hati-hati. Tak berapa
lama, didapatinya seorang bayi perempuan tergeletak beralaskan daun di antara
semak pandan itu. “Anak siapa gerangan? Mengapa berada di sini? Orang tuanya ke
mana?” Batin Lagoi bertanya dalam hati.
Setelah
menengok ke sekelilingnya, Batin Lagoi tidak melihat tanda-tanda ada orang di
sekitarnya. Karena ia tidak mempunyai anak, timbullah keinginan untuk
mengangkat bayi itu sebagai anak. Dengan hati-hati, diambilnya bayi itu dan
dibawanya pulang. Bayi itu kemudian ia beri nama Putri Pandan Berduri. Ia
memelihara Putri Pandan Berduri dengan penuh kasih-sayang seperti memelihara
seorang putri raja. Setiap hari Batin Lagoi juga memberinya pelajaran budi
pekerti yang luhur.
Waktu terus
berjalan. Putri Pandan Berduri tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Tutur
bahasa dan sopan-santunnya mencerminkan sifat seorang putri raja. Kecantikan
dan keelokan perangai Putri Pandan Berduri mengundang decak kagum para pemuda di
Pulau Bintan. Namun, tak seorang pun pemuda yang berani meminangnya, karena
Batin Lagoi menginginkan putrinya menjadi istri seorang anak raja atau anak
megat.
Sementara itu,
di Pulau Galang, tersebutlah seorang Megat yang mempunyai dua orang anak laki-laki.
Anak yang tua bernama Julela dan yang muda bernama Jenang Perkasa. Sejak mereka
kecil, Megat itu mendidik kedua anaknya agar saling membantu dan saling
menghormati.
Setelah keduanya beranjak dewasa, Megat menginginkan Julela sebagai batin di Galang. Hal ini kemudian membuat Julela menjadi sombong. Ia sudah tidak peduli dengan adiknya, sehingga hubungan mereka menjadi tidak harmonis lagi. Mereka pun menjalani hidup masing-masing secara terpisah.
Setelah keduanya beranjak dewasa, Megat menginginkan Julela sebagai batin di Galang. Hal ini kemudian membuat Julela menjadi sombong. Ia sudah tidak peduli dengan adiknya, sehingga hubungan mereka menjadi tidak harmonis lagi. Mereka pun menjalani hidup masing-masing secara terpisah.
Dari hari ke
hari kesombongan Julela semakin menjadi-jadi. Ia sering mencaci dan memusuhi
adiknya tanpa sebab. Pada suatu hari, Julela berkata kepada adiknya, “Hei,
Jenang bodoh!” Kelak aku menjadi batin di kampung ini, maka kamu harus mematuhi
segala perintahku. Jika tidak, kamu akan aku usir dari kampung ini.”
Jenang Perkasa
sangat sedih mendengar ucapan abangnya itu. Ia merasa tidak lagi dianggap
sebagai saudara. Hal ini menyebabkan Jenang Perkasa merasa semakin terasing
dari keluarga. Oleh karena itu, timbullah keinginannya untuk meninggalkan Pulau
Galang.
Keesokan
harinya, secara diam-diam, Jenang Perkasa berlayar tak tentu arah. Setelah
berhari-hari mengarungi lautan luas, sampailah ia di Pulau Bintan. Di sana, ia
tidak mengaku sebagai anak seorang megat. Ia selalu bertutur kata lembut kepada
setiap orang yang diajaknya berbicara. Sikap dan perilaku Jenang Perkasa itu
telah menarik perhatian Batin Lagoi.
Pada suatu hari, Batin Lagoi mengadakan perjamuan makan bersama orang-orang Suku Sampan lainnya. Tak ketinggalan pula Jenang Perkasa diundang dalam perjamuan itu. Jenang Perkasa pun pergi memenuhi undangan itu. Saat jamuan makan akan dimulai, ia memilih tempat yang agak jauh dari kawan-kawannya, agar air cuci tangannya tidak jatuh di hidangan yang ia makan. Tanpa disadarinya, ternyata sejak ia datang sepasang mata telah memerhatikan perilakunya, yang tak lain adalah Batin Lagoi. Tingkah laku dan budi pekerti Jenang Perkasa itu sungguh mengesankan hati Batin Lagoi.
Pada suatu hari, Batin Lagoi mengadakan perjamuan makan bersama orang-orang Suku Sampan lainnya. Tak ketinggalan pula Jenang Perkasa diundang dalam perjamuan itu. Jenang Perkasa pun pergi memenuhi undangan itu. Saat jamuan makan akan dimulai, ia memilih tempat yang agak jauh dari kawan-kawannya, agar air cuci tangannya tidak jatuh di hidangan yang ia makan. Tanpa disadarinya, ternyata sejak ia datang sepasang mata telah memerhatikan perilakunya, yang tak lain adalah Batin Lagoi. Tingkah laku dan budi pekerti Jenang Perkasa itu sungguh mengesankan hati Batin Lagoi.
Usai perjamuan,
Batin Lagoi menghampiri Jenang Perkasa. “Wahai, Jenang Perkasa! Aku sangat terkesan
dan kagum dengan keelokan budi pekertimu. Bersediakah engkau aku nikahkan
dengan putriku, Pandan Berduri?” tanya Batin Lagoi. “Dengan segala kerendahan
hati, saya bersedia menerima putri tuan sebagai istri saya,” jawab Jenang
Perkasa dengan sopannya.
Rupanya, Batin Lagoi sudah lupa dengan cita-citanya untuk menikahkan putrinya dengan anak raja atau megat. Meskipun sebenarnya Jenang Perkasa adalah anak seorang megat, tetapi Batin Lagoi tidak mengetahui tentang hal itu. Ia sungguh-sungguh tertarik dengan perangai Jenang Perkasa yang baik itu.
Rupanya, Batin Lagoi sudah lupa dengan cita-citanya untuk menikahkan putrinya dengan anak raja atau megat. Meskipun sebenarnya Jenang Perkasa adalah anak seorang megat, tetapi Batin Lagoi tidak mengetahui tentang hal itu. Ia sungguh-sungguh tertarik dengan perangai Jenang Perkasa yang baik itu.
Seminggu
kemudian, Jenang Perkasa pun dinikahkan dengan Putri Pandan Berduri. Pernikahan
mereka dilangsungkan sangat meriah. Aneka minuman dan makanan dihidangkan.
Tari-tarian juga dipergelarkan menghibur para pengantin dan para undangan.
Jenang Perkasa dan Putri Pandan Berduri pun hidup bahagia.
Tak berapa lama
kemudian, Batin Lagoi mengangkat Jenang Perkasa sebagai Batin di Bintan untuk
menggantikan dirinya. Jenang Perkasa memimpin rakyat Bintan dengan bijaksana
sesuai dengan adat yang berlaku di Bintan.
Kepemimpinan
Jenang Perkasa yang bijaksana itu terdengar oleh masyarakat Galang. Hingga
suatu hari, datanglah sekumpulan orang dari Galang ke Pulau Bintan. “Wahai,
Jenang Perkasa! Kami sudah mengetahui tentang kepemimpinanmu di Pulau Bintan
ini. Maksud kedatangan kami ke sini untuk mengajak engkau kembali ke Galang
mengggantikan abang Engkau yang sombong itu sebagai Batin,” kata salah seorang
dari mereka. Namun, Jenang Perkasa menolaknya. Ia lebih memilih menjadi Batin
di Pulau Batin. Sekumpulan orang dari Galang itu pun kembali dengan tangan
hampa.
Sementara
Jenang Perkasa hidup berbahagia bersama Putri Pandan Berduri. Mereka mempunyai
tiga orang putra, yang sulung dinamakan Batin Mantang, yang tengah Batin Mapoi,
dan yang bungsu Batin Kelong.
Jenang Perkasa
mendidik ketiga anaknya dengan baik, agar mereka tidak menjadi orang yang
sombong. Ia berharap kelak mereka akan menjadi pemimpin suku yang bertanggung
jawab. Maka pada ketiga anaknya diadatkannya dengan adat suku Laut, dan
dinamakan dengan adat Kesukuan.
Setelah beranjak dewasa, ketiga anaknya tersebut memimpin suku mereka masing-masing. Batin Mantang membawa berhijrah ke bagian utara Pulau Bintan, Batin Mapoi dengan sukunya ke barat, dan Kelong dengan sukunya ke timu Pulau Bintan. Ketiga suku tersebut kemudian menjadi suku terbesar dan termasyhur di daerah Bintan. Jika mereka mengalami kesulitan, mereka kembali kepada yang pertama, yaitu kepada adat Kesukuan.
Tak lama kemudian, Jenang Perkasa meninggal dunia, disusul Putri Pandan Berduri. Walaupun keduanya telah tiada, tetapi anak-cucu mereka banyak sekali, sehingga adat Kesukuan terus berlanjut. Hingga kini, Jenang Perkasa dan Putri Pandan Berduri tetap dikenang karena dari merekalah lahir persukuan di Teluk Bintan. Suku Laut atau Suku Sampan ini masih banyak ditemukan berdiam di perairan Pulau Bintan
Setelah beranjak dewasa, ketiga anaknya tersebut memimpin suku mereka masing-masing. Batin Mantang membawa berhijrah ke bagian utara Pulau Bintan, Batin Mapoi dengan sukunya ke barat, dan Kelong dengan sukunya ke timu Pulau Bintan. Ketiga suku tersebut kemudian menjadi suku terbesar dan termasyhur di daerah Bintan. Jika mereka mengalami kesulitan, mereka kembali kepada yang pertama, yaitu kepada adat Kesukuan.
Tak lama kemudian, Jenang Perkasa meninggal dunia, disusul Putri Pandan Berduri. Walaupun keduanya telah tiada, tetapi anak-cucu mereka banyak sekali, sehingga adat Kesukuan terus berlanjut. Hingga kini, Jenang Perkasa dan Putri Pandan Berduri tetap dikenang karena dari merekalah lahir persukuan di Teluk Bintan. Suku Laut atau Suku Sampan ini masih banyak ditemukan berdiam di perairan Pulau Bintan
* * *
Cerita rakyat
di atas termasuk ke dalam cerita-cerita teladan yang mengandung nilai-nilai
moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Adapun
nilai-nilai moral yang dapat diambil pelajaran dalam cerita di atas adalah
keutamaan perangai yang baik dan pantangan bersikap sombong. Sifat berperangai
baik tercermin pada sikap dan perilaku Putri Pandan Berduri dan Jenang Perkasa.
Mereka selalu bertutur kata yang lembut, sopan dan santun, sehingga mereka
banyak disenangi orang. Sikap dan perilaku mereka tersebut patut untuk
dijadikan sebagai suri teladan dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara sifat
sombong tercermin pada sifat Julela yang selalu merendahkan adiknya, Jenang
Perkasa. Kesombongannya pun semakin menjadi setelah diangkat menjadi Batin
Galang. Oleh karena sifatnya tersebut, ia dijauhi oleh masyarakat. Bahkan
adiknya sendiri pergi meninggalkannya. Besarnya akibat buruk yang ditimbulkan
oleh sifat sombong, sehingga sifat ini sangat dipantangkan dalam kehidupan
orang Melayu. Bagi mereka, orang yang sombong dan angkuh akan terkucilkan dalam
masyarakat. Banyak petuah amanah yang menyebutkan tentang akibat buruk dari
sifat sombong dan angkuh.
Sumber:
Isi cerita diringkas dari
Azmi. Putri
Pandang Berduri: Asal Mula Persukuan di Pulau Bintang. 2005. Yogyakarta:
Adicita Karya Nusa.
Anonim.
“Pulau Bintan,” (http://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Bintan, diakses tanggal
8 November
2006.
Effendy,
Tennas, 1994/1995. `Ejekan` terhadap Orang Melayu Riau dan Pantangan Orang
Melayu Riau. Riau: Bappeda Tingkat I Riau.